Sabtu, 09 November 2013

Korelasi antara Bahasa Indonesia dengan Akuntansi


UNIVERSITAS GUNADARMA
Nama : Nani Nurhayati
Kelas / NPM : 3EB21 / (28211355)
Mata Kuliah Bahasa Indonesia
" Korelasi antara Bahasa Indonesia dengan Bidang Akuntansi " (Tulisan)

Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi yang sangat diperlukan dalam hal memberi ataupun menerima informasi baik lisan, tulisan, ataupun gerak tubuh. Salah satunya di Bidang Akuntansi, yakni untuk menginformasikan hal-hal yang perlu disampaikan atau dipublikasikan kepada pembaca laporan keuangan serta kepada pihak auditor sebagai pihak yang memeriksa laporan keuangan tersebut. 

Begitu juga Bahasa yang kita gunakan saat ini yaitu Bahasa Indonesia, dalam kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.

Dalam pembuatan, pelaporan, dan pemeriksaan sebuah laporan keuangan yang sesuai dengan Prinsip Standard Akuntansi (PSAK) penempatan kata sangat perlu diperhatikan. Dengan penggunaan kata yang khusus berhubungan dengan bidang akuntansi sering kali disalahgunakan atau disalahartikan sehingga menimbulkan definisi atau penalaran yang salah. Hal ini dapat mengakibatkan kasalahpahaman bagi pembaca laporan keuangan tersebut.

Sering kali kita temui di khalangan umum, para pengguna bahasa di Indonesia tidak menyadari kata-kata yang mereka ucapkan itu sebenarnya mempunyai arti yang salah. Namun karena tidak adanya pengoreksian, maka kata-kata tersebut dibiarkan salah sampai kesalahannya tidak dihiraukan bahkan sering digunakan kembali oleh pengguna bahasa lainnya yang tidak mengetahui arti dari kata yang sebenarnya. Hal tersebut dapat berdampak buruk, apalagi dalam hal pemeriksaan laporan keuangan. Dengan demikian dalam hal ini penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan bener sangat diperlukan agar dalam pembuatan dan pelaporan laporan keuangan dapat berjalan secara efektif dan efisien, serta dapat menekan tingkat kesalahan yang lebih fatal.

Sumber :
  • www.gunadarma.ac.id 
  • Kamus Besar Bahasa Indonesia

Sabtu, 27 April 2013

Sengketa Dan Penyelesaiaannya



UNIVERSITAS GUNADARMA
Nama : Nani Nurhayati
Kelas / NPM : 2EB21 / (28211355)
Mata Kuliah Aspek Hukum Dalam Ekonomi
Sengketa Dan Penyelesaiannya “ (Tulisan)
BAB XIV

Sengketa

Sengketa adalah suatu yang menyebabkan perbedaan pendapat yang dapat berujung dengan perselisihan, pertengkaran, bahkan perebutan akan sesuatu hal. 

Cara Penyelesaian Sengketa

Sengketa yang terjadi harus segera diselesaikan agar tidak menimbulkan permasalahan yang baru, semakin panjang, dan membuang-buang waktu. Ada beberapa cara untuk menyelesaikan suatu sengketa atau perselisihan, diantaranya dengan jalan negosiasi, mediasi, arbitration, ligitasi. Berikut merupakan definisi dari cara-cara penyelesaian suatu sengketa.

Negosiasi adalah sebuah bentuk interaksi sosial berupa proses dimana pada saat pihak-pihak yang terlibat berusaha untuk saling menyelesaikan suatu tujuan yang berbeda dan bertentangan. Dan yang terrmasuk di dalam sebuah negosiasi salah satunya, tindakan yang dilakukan ketika berkomunikasi, musyawarah, kerjasama atau memengaruhi orang lain dengan tujuan tertentu.

Mediasi adalah upaya penyelesaian konflik dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan yang membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah pihak. Mediasi disebut emergent mediation apabila mediatornya merupakan anggota dari sistem sosial pihak-pihak yang bertikai, memiliki hubungan lama dengan pihak-pihak yang bertikai, berkepentingan dengan hasil perundingan, atau ingin memberikan kesan yang baik misalnya sebagai teman yang solider.

Arbitration merupakan suatu cara untuk mencapai compromise apabila pihak-pihak yang berhadapan tidak sanggup mencapainya. Dalam arbotration dibutuhkan pihak ketiga sebagai pihak yang netral dan tidak terlibat ataupun memihak kesalah satu pihak yang sedang bersengketa.

Ligitasi adalah persiapan dan presentasi dari setiap kasus, termasuk juga memberikan  informasi secara menyeluruh sebagaimana proses dan kerjasama untuk mengidentifikasi permasalahan dan menghindari permasalahan yang tak terduga. Ligitasi sekarang menjadi tuntutan masyarakat akan adanya supremasi hukum terlihat dari perkembangan masyarakat yang semakin mengedepankan aspek legalitas. Kecenderungan masyarakat dewasa ini lebih memilih institusi hukum/ pengadilan dalam menyelesaikan sengketa atau permasalahan yang terjadi diantara mereka, daripada harus duduk bersama, bermusyawarah untuk mencapai mufakat.

Perbandingan Antara Perundingan, Arbitrase, Dan Ligitasi

Perundingan yaitu dimana para pihak yang mengatur suatu perundingan dan prosedur yang digunakan bersifat informal dengan jangka waktu yang dibutuhkan segara sekitar 3 sampai 6 minggu, dengan mengeluarkan biaya yang relatif rendah (low cost), perundingan tidak memerlukan suatu aturan pembuktian. Dimana sarana publikasi konfidensial serta bersifat kooperatif antara hubungan para pihak yang terlibat. Fokus penyelesaian untuk waktu yang akan datang (for the future) dengan metode negosiasi kompromis. Komunikasi memperbaiki yang sudah lalu, result yang terjadi yaitu win-win, dengan pemenuhan yang diterima sukarela, dan suasana emosional yang terjadi pada saat perundingan yaitu bebas emosi.

Arbitrase yaitu dimana pihak arbiter yang mengatur suatu arbitrase dan prosedur yang digunakan bersifat agak formal sesuai dengan rule,  jangka waktu yang dibutuhkan agak lama sekitar 3 sampai 6 bulan, dengan mengeluarkan biaya yang terkadang sangat mahal, arbitrase agak informal untuk aturan pembuktian. Dimana sarana publikasi konfidensial serta bersifat antagonis antara hubungan para pihak yang terlibat. Fokus penyelesaian untuk waktu masa lalu (the past) dengan metode negosiasi sama keras pada prinsip hukum. Komunikasi jalan buntu (blocked), result yang terjadi yaitu win-lose, dengan pemenuhan yang selalu ditolak dan mengajukan oposisi, dan suasana emosional yang terjadi pada saat arbitrase yaitu emosional.

Ligitasi yaitu dimana hakim yang mengatur suatu ligitasi dan prosedur yang digunakan bersifat sangat formal dan teknis,  dengan jangka waktu yang dibutuhkan lama yaitu 2 tahun lebih, dengan mengeluarkan biaya yang sangat mahal (expensive), ligitasi sangat formal dan teknis untuk aturan pembuktian. Dimana sarana publikasi terbuka untuk umum serta bersifat antagonis antara hubungan para pihak yang terlibat. Fokus penyelesaian untuk waktu masa lalu (the past) dengan metode negosiasi sama keras pada prinsip hukum. Komunikasi jalan buntu (blocked), result yang terjadi yaitu win-lose, dengan pemenuhan yang ditolak dan mencari dalih, dan suasana emosional yang terjadi pada saat ligitasi yaitu emosi bergejolak.

Sumber 


Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat



UNIVERSITAS GUNADARMA
Nama : Nani Nurhayati
Kelas / NPM : 2EB21 / (28211355)
Mata Kuliah Aspek Hukum Dalam Ekonomi
Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat “ (Tulisan)
BAB XIII


Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Istilah monopoli di USA sering digunakan kata “antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli” Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya. Dimana terdapatnya kemampuan pelaku pasar untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan penawaran pasar.
Dalam Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undagn Anti Monopoli ). Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli.
Undang-Undang Anti monopoli juga memberikan arti kepada “persaingan usaha tidak sehat” sebagai suatu persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara-cara yang tidak jujur atau dengan cara melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Azas dan Tujuan
Adapun Asas Dan Tujuan Anti Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yakni sebagai berikut. Asas yang berlaku yaitu pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum. Sedangkan menurut Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.

Kegiatan Dan Perjanjian Yang Dilarang
Adapun Kegiatan yang dilarang dalam Undang-undang Anti Monopoli, yakni Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang meliputi kegiatan- kegiatan sebagai berikut: Monopoli; Monopsoni; Penguasaan pasar; Persekongkolan;
Sedangkan Perjanjian yang dilarang dalam Undang-undang Anti Monopoli, yaitu Perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar yang terdiri dari : Oligopoli; Penetapan harga; Pembagian Wilayah; Pemboikotan; Kartel; Trust; Integrasi vertical; Perjanjian tertutup; Perjanjian dengan pihak luar negeri.
Hal-Hal Yang Dikecualikan Dari Undang-Undang Anti Monopoli
Perjanjian yang dikecualikan, yakni perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual, perjanjian yang berkaitan dengan waralaba, perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang atau menghalangi persaingan, perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang atau jasa dengan harga yang lebih rendah dari harga yang telah diperjanjikan, perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas, serta perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah.
Perbuatan yang dikecualikan, yakni perbuatan pelaku usaha yang tergolong dalam pelaku usaha dan kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggota. Perbuatan atau perjanjian yang dikecualikan, yakni perbuatan atau perjanjian yang bertujuan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan yang bertujuan untuk eksport dan tidak mengganggu kebutuhan atau pasokan dalam negeri.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
Berdasarkan tugas dan kewenangan yang diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah selesai melakukan pengawasan atas dugaan praktek persaingan usaha tidak sehat. Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah suatu lembaga yang berfungsi untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya prakrik  monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat.

Tugas-tugas Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebagai berikut : melakukan pernilaian terhadap perjanjian, melakukan penilaian terhadap pelaku usaha, melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan, mengambil tindakan sesuai dengan wewenangnya, memberikan saran dan pertimbangan terhadap komisi kebijakan pemerintah, menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan undang-undang ini, serta memberikan laporan secara berkala ataas hasil kerja komisi kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Sanksi

Apabila terjadi pelanggaran, maka akan dikenakan sanksi berupa sanksi administrasi, sanksi pidana pokok dan tambahan. Berikut penjelasan atas sanksi-sanksi yang telah disebutkan.

Sanksi Administrasi ini dapat berupa penetapan pembatasan perjanjian, pemberhentian integrasi vertikal, perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan posisi dominan, penetapan pembatalan atas penggabungan, peleburan dan pengambilalihan  badan usaha, penetapan pembayaran ganti rugi, penetapan denda serendah-rendahnya satu miliar rupiah atau setinggi-tingginya dua puluh lima miliar rupiah.

Sanksi Pidana Pokok Dan Tambahan dimana dimungkinkan apabila pelaku usaha melanggar integrasi vertikal, perjanjian dengan pihak luar negeri, melakukan monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, posisi dominan, pemilikan saham, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan dikenakan denda minimal dua puluh lima miliar rupiah dan setinggi-tingginya seratus miliar rupiah, sedangkan untuk pelanggaran mengenai penetapan harga, perjanjian tertutup, penguasaan pasar dan persekongkolan, jabatanrangkap dikenakan denda minimal lima miliar rupiah dan setinggi-tingginya dua puluh lima miliar rupiah. 

Bagi pelaku usaha yang dianggap melkukan pelanggaran berat dapat dikenakan pidana tambahan sesuai pasal 10 KUH Pidana, yakni pencabutan izin usaha, larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya dua tahun dan selama-lamanya lima tahun, dan penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.

Sumber 


Kamis, 25 April 2013

Perlindungan Konsumen



UNIVERSITAS GUNADARMA
Nama : Nani Nurhayati
Kelas / NPM : 2EB21 / (28211355)
Mata Kuliah Aspek Hukum Dalam Ekonomi
“ Konsumen Dan Pelaku Usaha “ (Tulisan)
BAB XII

Pengertian Konsumen

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mkhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Jika tujuan pembelian produk tersebut untuk dijual kembali, maka dia disebut pengecer atau distributor. Perlindungan konsumen merupakan perangkat hukum yang diciptakan untuk melindungi terpenuhinya hak konsumen.

Azas-Azas Konsumen

Berikut merupakan azas-azas dalam hukum perlindungan konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UU PK adalah :

Asas manfaat, asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.

Asas keadilan, penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.

Asas keseimbangan, melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.

Asas keamanan dan keselamatan konsumen, diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Tujuan Konsumen

Adapun tujuan dari perlindungan konsumen yang terdapat pada Pasal 3 UU PK menyebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah: a) Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri. b) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa. c) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen. d) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi. e) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha. f) Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Hak Dan Kewajiaban Konsumen

Seperti yang telah diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Republik Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa; hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya.

Sedangkan kewajiban konsumen sebagaimana telah diatur dalam pasal 5 undang-undang perlindungan konsumen, kewajiban konsumen adalah membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan atau jasa; membayar sesuai dengan nilai tukar yang telah disepakati; serta mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Hak Dan Kewajiban Pelaku Usaha

Dalam Pasal 1 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU No. 8/1999”) menyatakan bahwa definisi pelaku usaha adalah: “Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi“.

Berdasarkan Undang-undang Perlindungan Konsumen dalam Pasal 6 menjelaskan tentang apa saja yang diatur sebagai Hak Pelaku Usaha: a) hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan atau jasa yang diperdagangkan. b) hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik. c) hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen. d) hak untuk merehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang/jasa yang diperdagangkan. e) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sedangkan berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 7 mengenai Kewajiban Pelaku Usaha, yakni beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan; memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; menjamin mutu barang atau jasa yang diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa yang berlaku; memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan atau mencoba barang atau jasa tertentu serta memberi jaminan dari atau garansi atas barang yang dibuat dan atau yang diperdagangkan; memberi kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang diperdagangkan; dan memberi kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian apabila barang dan atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
 
Perbuatan Yang Dilarang Bagi Para Pelaku Usaha

Adapun macam-macam perbuatan yang dilarang bagi para pelaku usaha, yakni segala sesuatu yang sifatnya merugikan konsumen. Berikut rincian dari perbuatan yang dilarang bagi para pelaku usaha.
Berikut merupakan bentuk perbuatan yang dilarang bagi para pelaku usaha, yaitu a) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan perundang-undangan; Tidak sesuaidengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya; dan sebagainya.
b)  Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa. c) Memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar. d) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat ( 1 ) dan ayat ( 2 ) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

Klausula Baku

Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan / atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen, klausula Baku aturan sepihak yang dicantumkan dalam kuitansi, faktur / bon, perjanjian atau dokumen lainnya dalam transaksi jual beli tidak boleh merugikan konsumen.

  Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan bahwa Klausula Baku yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian dilarang bagi pelaku usaha, apabila dalam pencantumannya mengadung unsur-unsur atau pernyataan sebagai berikut :
  1. Pengalihan tanggungjawab dari pelaku usaha kepada konsumen;
  2. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
  3. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
  4. Pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli secara angsuran;
  5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen;
  6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
  7. Tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan atau lanjutan dan / atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
  8. Konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Tanggung Jawab 

Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 19 ayat 1, dimana pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, atau kerugian yang diderita konsumen akibat mengonsumsi barang atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

Menurut Nurmadjito, 2000:24 Pelaku usaha yang diharuskan bertanggung jawab atas hasil usahanya adalah pelaku usaha yang melakukan kegiatan-kegiatan berikut : menghasilkan produk akhir, termasuk memproduksi bahan mentah atau komponen; mencantumkan nama, merek, atau tanda lain pada produk dengan tidak menunjukkan pihaknya sebagai produsen; mengimpor produk ke wilayah Republik Indonesia; menyalurkan barang yang tidak jelas identitas produsennya, baik produk dalam negeri maupun importirnya yang tidak jelas identitasnya; menjual jasa seperti mengembangkan perumahan atau membangun apartemen; serta menjual jasa dengan menyewakan alat transportasi atau alat berat.

Sanksi

Apabila pelaku usaha melakukan pelanggaran terhadap hak konsumen, maka pelaku usaha dapat dikenakan sanksi. Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen juga mengenakan sanksi pidana bagi pelaku usaha yang melanggar hak-hak konsumen, walaupun pada dasarnya hubungan antara konsumen dan pelaku usaha merupakan hubungan ukum perdata. Berikut sanksi yang diberikan pada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran konsumen.

Ada dua sanksi yang berlaku dalam pemberian sanksi kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran hak konsumen, yaitu Sanksi administratif, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen Pasal 60, BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) yang berhak menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang menggar pasal 19 ayat 2 dan 3, Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26. Berupa denda uang maksimum Rp. 200.000.000. Sanksi pidana pokok, Yakni apabila pelaku usaha melakukan pelanggaran terhadap hak konsumen, selain sanksi administratif maka pelaku usaha juga dapat dikenakan sanksi pidana pokok tergangtung dengan pelanggaran yang dilakukannya. Sanksi pidana pokok berupa : sanksi kurungan penjara 5 tahun atau denda Rp. 2.000.000.000 dalam Pasal 8,9,10, 13, ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan, e serta Pasal 18. Ataupun kurungan penjara 2 tahun atau denda Rp. 500.000.000 adalam Pasal 11, 12, 13, ayat (1), 14, 16, dan 17 ayat (1) huruf d dan f.

     Sumber